Sabtu, 18 Februari 2012

Tanggapan dari awam tentang Tawuran Jogja

Hari ini saudara saya sendiri jadi korban pemukulan orang yang nggak dikenal. Lagi-lagi penyebabnya adalah identitas sekolahnya. Ya, memang sih saat itu dia pakai celana olahraga yang ada identitas sekolahnya. Tapi kejadian ini memang diluar dugaan karena dia masih anak angkatan baru, dan saya tahu betul kalau dia tipe yang nggak suka kumpul-kumpul untuk cari onar. Memang nggak parah sih bekas pukulannya, syukurnya tidak separah seperti pengalaman orang lain yang biasa diceritakan teman-teman saya.

Usaha pemerintah Jogja untuk mengurangi tingkat resiko kekerasan pada pelajar SMA, terutama yang laki-laki, karena disebabkan oleh permusuhan siswa antar sekolah memang setidaknya sudah sedikit dilakukan. Badge sekolah yang dulunya menjadi simbol asal sekolah di SMA kota sekarang diubah menjadi “Pelajar Kota Yogyakarta”. Jadi setidaknya orang-orang yang sebenarnya nggak bersalah tetapi sering jadi objek kekerasan, bisa lebih terselamatkan. Tentunya asalkan juga tidak tempel stiker sana sini di badan motor atau helmnya.

Secara pribadi sebenarnya saya setuju-setuju saja akan adanya kelompok-kelompok tertentu ditiap sekolah. Tentunya kelompok-kelompok tersebut terbentuk biasanya oleh kesamaan-kesamaan yang ada. Bisa karena hobinya sama, latar belakang, cara berpikir, cocok-cocokan ngobrol, dan yang paling kuat yang biasanya dibangga-banggakan siswa sekolah adalah sama-sama ingin membela sekolahnya. Tapi yang menjadi permasalahan adalah ketika aktivitas yang dilakukan tidak sejalan dengan aturan atau kebiasaan yang ada di masyarakat.

Masyarakat Jogja terkenal dengan julukan masyarakat Kota Pelajar. Dan sudah menjadi lumrah bila yang diharapkan memang sikap-sikap selayaknya kaum terpelajar, yang terdidik, yang cendikia. Kekerasan dengan dalih membela martabat teman dan sekolah tentu bukan cara yang dilakukan oleh pelajar Jogja. Statistika berbicara, Jogja adalah wilayah dengan tingkat tawuran pelajar yang cukup tinggi. Namun tentunya data tersebut juga dipengaruhi jumlah pelajar di Jogja yang lebih tinggi daripada wilayah lain, sehingga nampak tingkat tawurannya tinggi. tapi ya, memang begitulah faktanya.

Malu? Ya!

Jelas harus malu. Malah malu-maluin kalau sampai tidak merasa malu. Bahkan saking malunya, ketika saya ada kesempatan mengikuti pertukaran pelajar ke salah satu wilayah di Indonesia, banyak wanti-wanti dari dinas dan kakak-kakak angkatan agar ketika kami ditanya oleh orang-orang di wilayah lain tentang tawuran pelajar, kami harus menjawab bahwa ‘kami tidak tahu menahu soal itu’. Sungguh. Dan alasannya adalah karena kami malu dengan kondisi itu.


http://raisatunnisa.wordpress.com/2011/09/17/karena-kami-malu-menjadi-pelajar-jogja/

| Free Bussines? |